Memikirkan Kata: Kumpulan Nasihat Menulis dari Para Jawara
Sore yang dingin selepas hujan deras. Waktu itu awal bulan Maret tahun 2020. Berita tentang Covid-19 belum banyak dibicarakan oleh media. Bersama seorang teman saya memesan kopi susu gula aren di Observasi Kopi.
Kedai tersebut terletak di selatan UIN Yogyakarta. Tepatnya di daerah Cantel. Ukurannya tidak terlalu besar. Parkirannya mungkin hanya muat untuk 6 atau 7 motor. Di luar terdapat 3 buah meja dan 8 kursi. Sementara ruang bagian dalam digunakan untuk menyeduh.
Sebenarnya kedai itu adalah rumah kontrakan yang dimodifikasi. Berbekal izin dari pemilik rumah, pemilik kedai mengubahnya menjadi tempat usaha. Kabar terakhir yang saya peroleh, kedai tersebut tutup lantaran pemiliknya pulang kampung dan belum buka kembali sampai sekarang.
Selain pemandangan sawah di tengah-tengah kota, daya tarik kedai tersebut adalah bacaan yang disediakan untuk para pengunjungnya. Banyak buku-buku bagus baik fiksi maupun non-fiksi di sana.
Sembari menunggu kopi saya selesai diseduh, saya melihat-lihat berbagai macam buku yang tersusun rapi di atas rak. Memikirkan Kata menjadi buku kedua yang menarik perhatian saya setelah The Complete Short Story of Ernest Hemingway.
Saya memungutnya. Virginia Woolf, Gabriel Garcia Márquez, Ernest Hemingway, dan Kurt Vonnegut adalah deretan nama-nama penulis yang tercetak pada bagian sampul. Merekalah yang pertama-tama membuat saya tertarik pada buku tersebut.
Buku itu cukup tebal. Terdiri dari 550 halaman. Karena sadar tak mampu menyelesaikannya dalam sekali duduk, saya pun mengurungkan niat untuk membaca dan hanya membolak-balik halamannya.
Beberapa minggu kemudian, buku dengan judul yang sama datang ke rumah setelah saya memesannya secara langsung dari penerbitnya.
***
Selama ini saya menganggap menulis sebagai kegiatan menuangkan ide dalam kata-kata kemudian mengembangkannya menjadi paragraf utuh. Ketika menulis, saya hampir tidak pernah membayangkan apakah pembaca paham dengan kalimat saya atau nyaman dengan cara saya bercerita. Yang terpenting adalah ide saya tertuang. Itu saja.
Namun, setelah membaca Memikirkan Kata, pandangan saya berubah. Ternyata menulis itu bukan sekadar menyampaikan gagasan tetapi juga memastikan bagaimana caranya agar gagasan tersebut tersampaikan dengan baik dan benar.
Sebab, tak jarang kita menemukan gagasan-gagasan tajam berubah menjadi tumpul lantaran disampaikan dengan cara yang tidak tepat. Pada sebuah kesempatan, Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Mutu suatu gagasan, bagi saya, tak sekadar dinilai berdasarkan gagasan itu sendiri, tetapi juga bentuk dan gaya bahasa yang dipakai penggagas bersangkutan.”
Maka dari itu, dalam menulis, ada beberapa tahapan yang sebaiknya kita lalui jika kita menginginkan gagasan kita benar-benar membekas pada benak pembaca, semisal: bagaimana seharusnya menulis paragraf secara menarik sehingga dapat mempengaruhi pembaca, memilih bahasa yang tepat agar tulisan kita dapat dinikmati dari awal sampai akhir, atau menyusun kalimat yang koheren supaya tiap-tiap bagian yang kita sampaikan tidak berbenturan.
Dalam buku ini, saya menemukan hampir setiap nasihat yang saya butuhkan untuk mewujudkan tulisan seperti itu. Pada halaman 17 misalnya, ketika Natalie Goldberg membicarakan kaidah praktik menulis, dia berpesan bahwasanya seorang penulis hendaklah menulis sesuatu secara spesifik.
Tujuannya jelas: agar pembaca mengetahui apa yang sedang kita bicarakan dan mempunyai gambaran atas hal tersebut.
Nasihat ini sederhana tapi penting bagi saya. Dalam beberapa kesempatan, saya menemukan tulisan yang membingungkan lantaran penulisnya tidak melakukan penegasan antara satu hal dengan yang lainnya sehingga menimbulkan makna ganda.
“Bukan mobil, tetapi Cadillac. Bukan buah tetapi apel. Bukan burung tetapi wren. Bukan codependent, laki-laki neurotik, tetapi Harry, yang berlari untuk membukakan istrinya pintu kulkas, seraya berpikir bahwa istrinya menginginkan apel.” Demikian tulis Natalie.
Pada halaman berikutnya saya menemukan nasihat Gabriel Garcia Márquez mengenai paragraf pertama. Katanya, paragraf pertama adalah salah satu hal yang paling sulit untuk ditulis. Gabo—begitu julukannya, bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya untuk menyelesaikan paragraf pertama.
Menurut Gabo, jika kamu bisa menyelesaikan paragraf pertama, maka kamu telah mengatasi semua masalah yang ada dalam tulisanmu. Karena pada paragraf itulah seorang penulis menentukan tema, nada, dan gaya penulisannya.
“Setidaknya dalam kasusku, paragraf pertama seperti sebuah sampel bagaimana keseluruhan buku itu nantinya. Itulah mengapa menulis kumpulan cerpen jauh lebih sulit daripada menulis sebuah novel. Setiap kali kau menulis cerpen, kau harus memulai dari awal lagi.”
Teori ini dapat kita temukan dalam novelnya yang terkenal: Seratus Tahun Kesunyian. Ketika tuntas membaca novel yang bercerita tentang kota, keluarga, perang, dan hal-hal magis yang ditulis dengan teknik foreshadowing itu, saya merasakan bahwa keseluruhan isi buku tersebut memang terwakilkan pada paragraf pertamanya.
Ada pula delapan nasihat Kurt Vonnegut agar kita dapat menulis cerpen dengan bagus. Delapan nasihat itu adalah:
- Seorang penulis hendaknya mempertimbangkan waktu pembaca agar waktu mereka tidak terbuang sia-sia karena terlalu lama membaca cerita kita.
- Tulis satu karakter yang berkesan untuk pembaca.
- Setiap karakter harus menginginkan sesuatu, walaupun hanya segelas air putih.
- Setiap kalimat harus mengerjakan satu atau dua hal semisal menceritakan suatu karakter atau melakukan sebuah tindakan.
- Jika memungkinkan, buatlah cerita yang ringkas. Jangan bertele-tele.
- Jadilah sadis dengan memberikan sesuatu yang buruk kepada protagonis.
- Menulislah dengan tujuan untuk membuat senang satu orang saja—karena tidak mungkin memuaskan semua orang.
- Berikan informasi kepada pembaca karena mereka harus memiliki pemahaman lengkap tentang apa yang terjadi.
Demikian beberapa nasihat yang saya temukan dalam buku ini. Meskipun banyak berbicara soal nasihat kepenulisan, pada dasarnya kita juga dapat menemukan hal lain dalam buku ini. Di sini kita juga bisa menemukan informasi tentang apa saja yang dipikirkan oleh para pengarang sebelum menulis novel, cara apa saja yang mereka tempuh ketika kehabisan ide, atau berbagai pengalaman mereka selama menulis.
Saya dibuat haru ketika membaca teks pidato Orhan Pamuk sewaktu dia memperoleh penghargaan nobel sastra pada tahun 2006. Dalam teks pidato dengan judul “Koper Milik Ayah” itu ada kata-kata Orhan Pamuk yang masih terngiang dalam benak saya sampai sekarang, yakni:
“Karenanya saya berpendapat, menjadi penulis berarti berupaya memahami luka-luka misterius dalam jiwa. Luka yang sangat rahasia sehingga kita nyaris tak mengenalinya dan butuh kesabaran untuk mempelajari, menemukan serta meneranginya, agar rasa sakit itu menjadi milik kita sekaligus bagian tak terpisahkan dari jiwa dan tulisan kita.”
Selain ditulis dengan metode naratif, Memikirkan Kata juga ditulis dengan metode wawancara imajinatif seperti dalam tulisan yang berjudul “Motif Politik dalam Kepengarangan Orwell”.
Menurut saya, menyampaikan gagasan dengan format tanya-jawab semacam ini tak kalah menariknya dengan metode naratif. Cara semacam ini dapat membantu pembaca menyimpulkan poin-poin penting dalam tulisan dengan mudah dan terhindar dari kebosanan.
***
Dibuka dengan bab “Pengantar Tentang Berpikir, Membaca, dan Akhirnya Menulis” dan ditutup dengan bab “Nasihat Mengarang dari Penulis Buku Best Seller Dunia”, buku Memikirkan Kata banyak memberikan saya pemahaman baru mengenai dunia tulis-menulis.
Satu di antara keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh buku ini ialah ia disusun dengan halaman berwarna dan penuh dengan foto-foto para penulis legendaris. Buku ini benar-benar memanjakan mata saya dari satu bab menuju bab lainnya. Saya seolah diajak berkunjung ke suatu galeri, melihat foto-foto yang dipajang di sana, lalu membaca keterangannya satu per satu.
Tak bosan-bosannya saya melihat tampang maskulin Charles Bukowski ketika sedang merokok atau senyum hangat Gabriel Garcia Márquez yang duduk di atas kursi atau sorot mata Virginia Woolf yang penuh teka-teki. Demikian pula dengan garis-garis keriput pada wajah Leo Tolstoy yang dibentuk oleh pengalaman. Entah mengapa gestur tubuh mereka begitu kharismatik.
Buku ini saya sarankan bagi siapa saja yang ingin mengetahui seluk-beluk dunia kepenulisan. Kalaupun ada kekurangannya, saya kira terletak pada sedikitnya pembahasan mengenai penulis-penulis Timur Tengah. Hampir semua penulis yang dimuat dalam buku ini berasal dari Barat.
Padahal saya berharap ada nama-nama penulis Timur Tengah seperti Naguib Mahfouz, Nawal el-Saadawi, Nizar Qabbani, atau Mahmoud Darwish. Tampaknya bakalan menarik apabila kita bisa membandingkan karya-karya penulis Barat dan Timur Tengah dalam segi tema, gaya penulisan, atau nuansa yang mereka bangun.
Judul: Memikirkan Kata
Editor: Sabiq Carebesth
Penerbit: Galeri Buku Jakarta
Jumlah halaman: 550 halaman
Oleh: Inan
(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)