Seratus Tahun Kesunyian dalam Cantik itu Luka


Cantik itu Luka memiliki semesta yang unik dan kompleks. Tak mudah meringkusnya dalam satu deskripsi. Pada novel setebal 479 halaman itu (novel yang saya baca cetakan Gramedia tahun 2015) kita bisa menemukan apa saja.

Mulai dari Marxisme sampai cerita tentang perang. Dari kisah seseorang yang bangkit dari kubur hingga legenda seorang cantik rupawan yang menikahi anjing. Semuanya tumpah ruah dalam genre yang memadukan antara kenyataan dengan unsur-unsur fantasi.

Segala macam cerita cinta ada di dalam buku ini. Baik kisah cinta yang tak pernah sampai, cinta karena paksaan, atau cinta karena kebiasaan. Tapi, dari sekian banyak cerita cinta yang ada, tentu saja cerita paling tragis adalah cerita cinta antara dua pemuda bernama Kliwon dan Alamanda. Keduanya berjanji untuk menikah namun Alamanda diperkosa oleh seseorang dan terpaksa mengawini pemerkosanya untuk membalas dendam.

Novel ini menceritakan kehidupan seorang pelacur bernama Dewi Ayu. Dia adalah seorang perempuan keturunan Belanda yang ditangkap oleh tentara Jepang ketika perang berkecamuk. Bersama dengan perempuan-perempuan lainnya, dia digiring menuju kamp pengasingan bernama Bloedenkamp.

Di kamp pengasingan tersebut Dewi Ayu kemudian diambil oleh seorang mucikari dan dipekerjakan di rumah bordil. Parasnya yang menawan menjadikannya sebagai pelacur terlaris di sana. Banyak lelaki hidung belang rela mengantri demi dapat tidur dengannya.

Tokoh-tokoh di dalam Cantik itu Luka digambarkan memiliki karakter tak lazim. Ada yang menjalin hubungan inses dengan saudaranya. Ada yang menjalin hubungan pedofilia dengan tokoh lainnya dan ada pula yang melakukan hubungan badan dengan hewan.

Adegan seksualnya pun disampaikan secara vulgar. Percakapan mengenai kelamin dan libido bertebaran di mana-mana. Begitu pula dengan adegan pemerkosaan yang dapat kita temukan dalam beberapa bab.

Masa penjajahan Belanda, perang kemerdekaan, sampai pembantaian orang-orang komunis mengiringi kisah tragis para tokoh yang ada di dalamnya.

Membaca Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan mengingatkan saya kepada Seratus Tahun Kesunyian milik Gabriel Garcia Márquez. Dalam beberapa bagian, saya menemukan nuansa yang sama dengan novel yang mengantarkan penulisnya meraih nobel sastra pada tahun 1982 itu.

Saya mencoba menangkap beberapa nuansa tersebut dan inilah yang saya temukan:

Bergenre Realisme Magis

Realisme magis adalah salah satu aliran sastra yang menggabungkan kejadian nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan hal-hal yang ada di luar nalar. Istilah realisme magis pertama kali digunakan oleh seorang pengarang Kuba bernama Alejo Carpentier. Genre ini mencapai puncaknya ketika Gabriel Garcia Márquez menulis Seratus Tahun Kesunyian.

Jika dalam novel Seratus Tahun Kesunyian seorang Gipsi bernama Melquíades bangkit dari kematian lantaran tak mampu menahan kesendirian, maka dalam Cantik itu Luka kita dapat menemukan tokoh Dewi Ayu yang bangkit dari kubur setelah 21 tahun mati karena merindukan pembantu dan anak terakhirnya. Kebangkitan Dewi Ayu inilah yang digunakan Eka Kurniawan untuk membuka novelnya.

Dalam Seratus Tahun Kesunyian diceritakan pula seorang perempuan muda yang terbang ke langit. Kisah yang agak mirip dapat kita baca dalam Cantik itu Luka ketika Eka Kurniawan menceritakan kisah Ma Gedik dan Ma Iyang.

Ma Gedik dan Ma Iyang adalah dua orang yang saling jatuh cinta namun tak pernah kesampaian karena Ma Iyang dipaksa menjadi gundik seorang Belanda. Ma Gedik yang terpisah dari pasangannya menjadi gila hingga pada suatu hari 16 tahun kemudian, Ma Iyang melarikan diri dari tuannya dan menemui Ma Gedik di sebuah bukit.

Khawatir karena tertangkap oleh orang-orang Belanda yang mengejarnya, Ma Iyang memilih untuk terbang dan lenyap menuju langit. Ia menghilang di balik kabut yang mulai turun. Ma Gedik yang menyedihkan berlari menuruni bukit untuk mencari kekasihnya namun tak pernah menemukannya. Semenjak saat itu orang-orang menamai bukit tempat lenyapnya Ma Iyang dengan nama bukit Ma Iyang.

Bercerita Mengenai Keluarga

Seratus Tahun Kesunyian bercerita mengenai keluarga Buendía yang hidup di kota terpencil bernama Macondo. Dalam novel tersebut dikisahkan bagaimana anggota keluarga Buendía terjebak dalam lingkaran karma yang tidak pernah putus.

Masing-masing dari mereka mati lalu terlahir kembali pada generasi selanjutnya dan mewarisi kesialan-kesialan yang dialami oleh para pendahulunya.

Hal serupa juga terjadi pada Dewi Ayu dan keluarganya. Dewi Ayu merupakan perempuan keturunan Belanda dengan kecantikan luar biasa. Ketiga anaknya pun mewarisi kecantikan yang sama dengan ibunya. Hanya anak keempatnya saja yang memiliki tampang buruk rupa.

Sayangnya, kecantikan bagi mereka tidak mendatangkan kebahagiaan melainkan malapetaka. Dewi Ayu adalah korban pemerkosaan tentara Jepang sebelum akhirnya menjadi seorang pelacur. Demikian pula dengan anak-anaknya. Mereka menjadi korban pemerkosaan laki-laki yang cintanya tak terbalas. Bahkan, salah satu cucunya diperkosa oleh cucunya yang lain.

Selain itu, Seratus Tahun Kesunyian juga merekam bagaimana keluarga Buendía menghadapi perubahan sosial yang terjadi di kota Macondo. Kota yang dulunya sunyi itu perlahan-lahan berubah menjadi penuh perayaan. Toko-toko dibuka dan festival-festival diadakan.

Dalam Cantik itu Luka kita juga akan menemukan nuansa yang mirip. Bedanya, perubahan sosial yang dihadapi oleh Dewi Ayu dan keturunannya adalah perubahan kota Halimunda dari masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, sampai ketika peristiwa pembantaian 1965 terjadi.

Teknik Pembocoran Cerita

Eka Kurniawan dalam obituarinya untuk Gabriel Garcia Márquez menulis bahwa salah satu teknik yang digunakan oleh Gabriel Garcia Márquez dalam menyampaikan cerita sehingga membuatnya banyak dikenang oleh para pembaca adalah dengan membocorkan cerita itu sendiri.

Teknik ini disebut dengan foreshadowing. Dalam Seratus Tahun Kesunyian, Eka Kurniawan mengatakan bahwa Gabriel Garcia Márquez telah membocorkan nasib salah satu tokohnya sejak kalimat pertama yang menjadi pembuka novel tersebut.

Dalam paragraf awal novel, Gabriel Garcia Márquez menceritakan detik-detik terakhir kolonel Aureliano Buendía di hadapan regu tembak. Dia menceritakan nasib kolonel Aureliano Buendía jauh sebelum para pembaca mengenal siapa sebenarnya sosok tersebut.

Teknik serupa juga dapat kita temukan dalam Cantik itu Luka. Jika kita mau mencermati, sebenarnya Eka Kurniawan telah membocorkan makna “Cantik Itu Luka” semenjak awal bab.

Pada sebuah percakapan antara Dewi Ayu dan pembantunya yang bernama Rosinah, kita dapat melihat keengganan Dewi Ayu untuk memiliki anak cantik lagi. Katanya, lebih baik dia memiliki keturunan yang buruk rupa sebab, “tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi-bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti anjing di musim kawin.”

Judul: Cantik itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 479 halaman

Oleh: Inan

(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)

Postingan Berikutnya Postingan Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url