Melihat Bagaimana Orang Jawa Menunaikan Puasa Ramadan

 

Puasa Ramadan merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Saking banyaknya, tidurnya orang yang sedang berpuasa pun dianggap ibadah. Pada sebuah kesempatan Nabi mengatakan: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan, doanya diijabah, dan dosanya diampuni.”

Dalam kitab Lubabul Hadits, Imam Jalaluddin Suyuthi menulis 1 bab yang khusus membahas berbagai macam keutamaan puasa Ramadan. Tercatat ada 11 hadis yang menjelaskan keutamaannya mulai dari besarnya pahala yang diperoleh sampai bermacam-macam kegembiraan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa.

Barangkali, karena banyaknya keutamaan itulah umat Islam di seluruh dunia memperlakukan bulan Ramadan berbeda dengan bulan-bulan lainnya—tak terkecuali umat Islam di Jawa.

Bahkan, di dalam penelitiannya yang kemudian dibukukan dengan judul Ramadan di Jawa Pandangan dari Luar, André Möller mengatakan bahwa umat Islam di Jawa begitu memprioritaskan bulan Ramadan melebihi umat Islam yang ada di belahan bumi lain.

Katanya, Ramadan di Jawa adalah Ramadan yang paling ketat untuk diikuti. Dalam ihwal salat Tarawih misalnya, mereka hampir menganggapnya sebagai salat wajib. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan mereka yang ketika pada bulan-bulan lain sering malas mengikuti salat wajib namun pada saat Ramadan berbondong-bondong menuju masjid untuk mengerjakan salat Tarawih.

Tentu, ada beberapa alasan lain yang mendukung pernyataan tersebut. Misalkan, masyarakat Jawa dikenal memiliki serangkaian ritual untuk menyambut kedatangan dan kepergian bulan Ramadan yang tidak ditemukan di negara lain.

Pada bulan Ruwah (yang bertepatan dengan bulan Rajab pada penanggalan Islam), masyarakat Jawa mengesampingkan kesibukan mereka dan mulai fokus menyambut Ramadan.

Mereka tidak mengadakan hajatan seperti pernikahan tetapi menggantinya dengan kegiatan bersih lingkungan. Selain itu mereka juga berziarah ke makam leluhur atau sanak saudara. Di sana mereka membaca al-Qur'an dan mendoakan para kerabat yang telah meninggal.

Di beberapa daerah seperti Semarang, sebagian masyarakatnya mengadakan pawai di sekolah-sekolah guna menyambut Ramadan. Menurut André Möller, hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran positif tentang Ramadan terhadap anak-anak.

Pada bulan ini pula masyarakat Jawa mengadakan kegiatan padusan di mana orang-orang melakukan ritual mandi sebagai simbol penyucian diri ketika hendak memasuki bulan Ramadan.

Perjalanan menyambut bulan suci kemudian disambung dengan perdebatan mengenai penentuan awal bulan tersebut. Perlu untuk diketahui, perdebatan semacam ini hanya terjadi di Indonesia. Perdebatan muncul lantaran adanya perbedaan metode dalam menentukan awal Ramadan. Pihak tradisionalis menggunakan metode Rukyat sementara pihak modernis menggunakan metode Hisab.

Rukyat sendiri adalah menentukan awal bulan dengan cara melihat bulan baru menggunakan mata telanjang sedangkan Hisab adalah menentukan awal bulan melalui metode perhitungan.

Meskipun demikian, terkadang terjadi kesamaan antara kedua belah pihak. Pada tahun 2001, tidak ada perbedaan antara kaum tradisionalis dan kaum modernis mengenai penentuan tanggal 1 Ramadan.

Intensitas ibadah dan kesalehan masyarakat meningkat di bulan Ramadan. Menjelang Subuh, ajakan untuk sahur terdengar dari masjid-masjid. Anak-anak berjalan keliling kampung membangunkan warga dengan benda-benda yang mendatangkan bunyi.

Usai menyantap sahur orang-orang berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan salat Subuh berjamaah. Demikian halnya ketika memasuki waktu berbuka puasa. Masjid-masjid selalu padat. Di sana masyarakat kurang mampu memperoleh makanan untuk berbuka puasa secara gratis.

Pada malam harinya orang-orang berangkat menunaikan ibadah salat Tarawih secara berjamaah yang lagi-lagi terdapat perdebatan di dalamnya. Kaum tradisionalis berpegang teguh pada pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menunaikan salat Tarawih sebanyak 23 rakaat sedangkan kaum modernis meyakini bahwa Nabi menunaikan salat Tarawih sebanyak 11 rakaat.

Kegiatan salat Tarawih kemudian disambung dengan membaca al-Qur'an. Pembacaan al-Qur'an secara bersama itu mereka lakukan tiap malam hingga Ramadan selesai.

Dari sekian banyak rangkaian ritual dalam menyambut dan menutup bulan Ramadan, saya kira ada pengamatan yang terlewatkan oleh André Möller. Di dalam bukunya saya tidak menemukan pembahasan mengenai ngabuburit.

Padahal ngabuburit menurut saya juga merupakan bagian penting dari Ramadan. Ngabuburit menjadi penting karena ia menjadi bukti bahwa Ramadan memang benar-benar bulan yang penuh berkah sebab mampu mendatangkan pundi-pundi pahala dan rezeki bagi banyak orang.

Di kota kelahiran saya terdapat satu tempat yang selalu ramai ketika Ramadan tiba. Tidak sedikit pengunjung yang datang dari luar kota. Tempat itu bernama Kampung Ramadan Jogokariyan.

Di sana, para pedagang menggelar lapaknya dan banyak pengunjung menghabiskan waktu menunggu adzan maghrib sambil berburu takjil. Di tempat itulah para penjual dan pembeli berinteraksi sembari menggerakkan roda perekonomian selama bulan Ramadan. Dalam konteks ini, agama tidak hanya memberikan kepuasan spiritual namun juga memberikan kepuasan materil bagi pemeluknya.

Pembahasan lain yang menarik perhatian saya adalah pembicaraan mengenai peringatan Nuzulul Qur'an dan Lailatul Qadar di Indonesia. Kita tahu peringatan Nuzulul Qur’an diadakan setiap tanggal 17 Ramadan dan peringatan Lailatul Qadar diadakan setiap tanggal 27 Ramadan atau malam ganjil 10 hari terakhir bulan Ramadan.

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah: Mengapa ada dua peringatan dalam peristiwa turunnya al-Qur'an? Apakah al-Qur'an turun sebanyak 2 kali?

Dalam upayanya menjawab pertanyaan itu, André Möller menjelaskan bahwa Nuzulul Qur’an merupakan peringatan turunnya al-Qur'an sementara Lailatul Qadar lebih terfokus pada takdir orang Islam dan masa yang akan datang.

Dia juga memaparkan pendapat Nurcholis Madjid. Menurut Cak Nur, perayaan Nuzulul Qur’an merupakan kegiatan khas Indonesia yang tak ada bandingannya di negara-negara Islam lain. Perayaan ini adalah hasil ijtihad H. Agus Salim yang disambut baik oleh Presiden Soekarno.

Kata Nurcholis Madjid, merayakan Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar secara terpisah merupakan gagasan yang baik sebab akan mengingatkan rakyat Indonesia atas nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Nilai spiritual yang dimaksud ialah adanya partisipasi Tuhan dalam kemerdekaan bangsa Indonesia yang menurut Nurcholis Madjid juga jatuh pada tanggal 17 Ramadan.

Dua pernyataan di atas berbeda dengan penjelasan yang saya temukan. Sebagai pembanding, dalam literatur yang saya baca dijelaskan bahwa perbedaan antara Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar ini berkaitan dengan cara turunnya al-Qur'an.

Pada mulanya al-Qur'an diturunkan secara menyeluruh kemudian diturunkan secara berangsur-angsur. Penurunan secara menyeluruh terjadi pada malam Lailatul Qadar di mana al-Qur'an diturunkan dari Lauh Mahfudz menuju langit dunia. Selanjutnya, al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi yang dimulai pada tanggal 17 Ramadan ketika beliau menyepi di Gua Hira’.

“Para ulama berbeda pendapat mengenai cara turunnya al-Qur'an dari Lauh Mahfudz. Setidaknya ada tiga pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama, dan ini merupakan yang paling shahih dan masyhur, adalah al-Qur'an diturunkan ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur selama 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun. Ini berdasarkan perbedaan pendapat tentang masa tinggal Rasulullah di Mekah setelah diutusnya beliau menjadi Nabi.”

“Imam al-Hakim, Baihaqi, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat melalui Manshur dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dia berkata: al-Qur'an diturunkan pada malam Lailatul Qadar secara sekaligus ke langit dunia, di tempat bintang-bintang berada, dan Allah menurunkannya kepada Nabi sebagian mengiringi sebagian yang lainnya.” Demikian tulis Imam Jalaluddin Suyuthi dalam kitab al-Itqan fi Ulumil Quran.

Sejauh yang bisa saya simpulkan, membaca buku ini membantu saya merefleksikan diri saya sendiri ketika melakukan rutinitas sehari-hari selama bulan Ramadan. Banyak hal yang pada prakteknya terkesan biasa-biasa saja tapi justru dibahas secara mendalam dalam buku ini seperti momen perbedaan rakaat salat Tarawih yang menurut penulisnya ternyata mengandung perselisihan-perselisihan yang bermakna.

Buku ini penting untuk dijadikan rujukan bagi siapa saja yang ingin mengetahui dokumentasi pelaksanaan ibadah puasa di Jawa. Namun, bagi sebagian orang—terutama mereka yang beragama Islam dan bertempat tinggal di Jawa, buku ini mungkin tampak kurang menarik. Salah satu alasannya adalah karena buku ini tidak memberikan informasi baru. Bagi mereka, puasa dan segala hal yang mengiringinya sudah menjadi rutinitas setiap tahunnya.

Buku ini bakal tampak menarik jika kita memposisikan diri sebagai orang luar yang hendak mencari tahu bagaimana ibadah puasa di Jawa ditunaikan. Itulah mengapa edisi asli buku ini berbahasa Inggris karena audiensnya adalah orang-orang di luar sana yang tidak mengenal puasa Ramadan.

Judul: Ramadan di Jawa Pandangan dari Luar
Penulis: André Möller
Penerbit: Penerbit Nalar
Jumlah halaman: 309 halaman

Oleh: Inan

(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)

Postingan Berikutnya Postingan Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url