Tentang Puisi Emosi
Membaca Kisah yang Tak Sudah mengingatkan saya kepada seorang penyair berkebangsaan Chile. Saya menemui kesamaan nada, sense (arti/tema), feeling (rasa) di puisi Hidar dengan kumpulan sajak-sajak cinta (love poems) Pablo Neruda.
Jika dicermati dengan seksama, sajak-sajaknya relatif sederhana dalam hal penyampaian dan isinya. Tatkala Neruda menerima Nobel pada tahun 1971, ia berkata penyair harus (jika tidak dikatakan wajib) menggapai suatu keseimbangan antara sikap soliter (kesendirian) dan sikap solider (perasaan/ sifat senasib, satu rasa akan sekitranya), antara perasaan dan tindakan, antara keintiman diri dan keakraban dengan kemanusiaan, dan terakhir pengungkapan akan sifat alamiah.
Dalam hal ini, Hidar telah menampilkan satu aspek yang diutarakan oleh Neruda ihwal keintiman diri.
Puisi menurut Chairil sebagaimana dikutip oleh Goenawan Mohamad (GM) adalah sebuah ikhtiar agar dunia privat bisa diungkapkan dan tak punah tertindas oleh bahasa orang ramai.
Dengan kata lain, Chairil mengatakan bahwa dalam upaya menghadirkan teks berupa puisi, seorang penyair seharusnya menemukan bahasa baru. Bahasa yang tak pernah dipakai di kancah orang banyak.
Tak heran, puisi Chairil menunjukan kelainan dalam bentuknya dan berani menunjukan pesona yang hampir sepenuhnya belum pernah dijumpai angkatan sebelumnya (baca: pujangga baru).
Radhar Panca Dahana dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa puisi muncul dari keterusikan batiniah seorang penyair. Puisi muncul dari semacam polemik intelektual diri yang bermula dari pandangan, pikiran, rasa, hingga mencapai tahap penghadiran “teks” sebagai perwujudan dari wacana yang ingin dihadirkan.
Keterusikan batiniah seorang dan pergolakan intelektual sang penyair bisa jadi berkaitan dengan perasaan dan emosi, keharuan akan alam, ketakpuasan terhadap sekitar, atau mungkin pemikiran dari permenungan hidup seperti puisi falsafi Subagiyo Sastrowardoyo.
Di dalam sajak-sajak Hidar terdapat hal yang pasti perihal temanya. Cinta menjadi titik sentral dari separuh lebih sajaknya berkisah ihwal keromantisan, kisah kasih, dan harapan-harapan, kerinduan dan luapan renjana. Hal ini persis apa yang dibicarakan Hidar di kata pengantarnya.
Saya kutip: “Ternyata setiap-setiap bertemu dengan orang, kisah, dan tempat baru, hati saya selalu memberontak dan ingin meluapkannya menjadi kata-kata.”
Dari penggalan ini, Hidar tak hanya ingin mencatat setiap peristiwa dengan baik di ingatan, di kepala, tetapi juga dalam sebuah sajak-sajaknya.
Dus, saya berfikir bahwa sebagian besar sajaknya tentang personalisasi dan emosi semata. Dalam puisi Beranjak Bangun Dari Matamu, saya menemui perasaan kerinduan sekaligus fatalis dan perasaan kecewa yang hadir di akhir baitnya.
Musim berganti layu
Daun daun menggigil kering
Tanah mati diinjak-injak.
Hujan tak mau menghantam tanah
Rindu kian resah.
Tulang rusuk menghilang
dibawa paksa sebuah nama
di pelosok hati, berbeda ruang.
Berlalu waktu menunggu
Tanpa rengkuh bibirku
jurang mata bergoyang
tanda usia tak lama
rindu terkubur di musim
gugur.
Bait pertama menjadi sebuah sampiran berbentuk tiga seuntai. Persajakannya sengaja tidak dijaga dan dibiarkan. Terdapat citraan keadaan kering dan gersang, panas tak tertahankan terlihat dari citraan daun-daun menggigil kering.
Lalu dilanjut dengan bait ke dua untuk menguatkan bait pertama dengan larik akhir rindu kian resah yang menjadi awal isi disisipkan. Kemudian di bait ke tiga, menjadi sebuah isi dari sajaknya. Terdapat sedikit aturan persajakan di tiap lariknya.
"Tulang rusuk menghilang" barangkali suatu keadaan, ketiadaan kekasih (menurut beberapa orang yang meyakini ada kisah tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk pria). Kemudian ditegaskan dengan larik akhir bait ke tiga dengan "Di pelosok hati, berbeda ruang".
Bait ke empat menjadi isi juga sekaligus menampilkan imaji fatalis telah usai merindukan, biar rindu hilang tenggelam.
Di puisi Hidar yang lain juga menampilkan sebuah puisi yang memiliki peraturan persajakan puisi lama dengan sajaknya yang diatur sedemikian rupa agar menciptakan suatu keindahan bunyi di tiap lariknya.
Di dalam sajak Selamanya Saling Menguatkan (hal. 6), ada sosok Sapardi dan jejak sepasang penyair dalam buku Tempat Paling Liar di Muka Bumi.
Di Sapardi, kita jumpai dan menikmati cinta yang sederhana dan di Weslly dan Theo kita temukan banyak aforisme “aku ingin mencintaimu dengan banyak melahirkan banyak puisi”.
Dalam puisi Hidar ini tentang cinta dan keharuan berlebih, tetapi sarat kemuskilan. Bagaimana mungkin kita bisa mencintai dengan sempurna? Apa ukuran kesempurnaan itu? Cinta tanpa luka dan merasa baik-baik saja saya pikir hanya ada di sinema dan di realitas rekaan saja.
Ihwal mencintai di bait akhir “Ternyata mencintai bukan hal yang rumit/tak ada pengorbanan, tak ada perjuangan/selamanya saling menguatkan” adalah kemuskilan lainnya. Cinta dicitrakan sesuatu yang mengerikan, sehingga ia ingin menghindari, menjauhi, bahkan dilampaui.
Tentu saja luka, air mata, kesedihan, kesenangan kekecewaan, dan hal-hal silam adalah kemestian sekaligus proses kemenjadian. Tanpa itu semua cinta tak lebih dari cerita biasa.
Sepintas lalu, puisi-puisi Hidar semacam fragmen yang terpisah sana sini. Beberapa puisinya misalnya saling berkaitpaut. Hal ini dapat kita lihat dalam sajak Rusuk tulangku (hal. 14) seperti di bawah ini:
Rusuk Tulangku
Saat kutuliskan kata rindu,
aku tak menemukan nama
Saat kutuliskan kata cinta,
aku tak menemukan rasa
Saat kutuliskan namamu,
aku menemukan rusuk tulangku.
Beranjak Bangun Dari Matamu
Musim berganti layu
Daun-daun menggigil kering
Tanah mati diinjak-injak.
Hujan tak mau menghantam tanah
Rindu kian resah.
Tulang rusuk menghilang
dibawa paksa sebuah nama
di pelosok hati, berbeda ruang.
Berlalu waktu menunggu
Tanpa rengkuh bibirku
jurang mata bergoyang
tanda usia tak lama
rindu terkubur di musim
gugur.
Sunyi Dalam Kelam
Aku mencerca diri dalam hati
Ketika denting jam beramai menertawai berulang kali
Benarkah sepi untuk orang sepertiku?
Jika ramai hanya menggetarkan dunia
Sebelum pecahan kaca mengiris
Kaki-kaki kecil yang kepanasan beralas aspal dan tawa kesombongan
Aku cuma bisa mengenali diri
Saat berada dalam sunyi
Selebihnya, drama kehidupan
Yang masih saja kupertahankan: langit biru menghitam
Namun hidupku telah lama hanyut dalam kelam.
Ketiga puisi di atas dengan parafrase bebas adalah sebuah rangkaian peristiwa yang berkait. Fragmen satu si aku lirik seolah dalam ekstase atau keadaan tak sadar diri, suatu tahapan trance atau kesenangan yang lahir dari dopamin.
Lalu, mengalami keadaan serba pasif, tak bergairah dan pasrah di fragmen ke dua. Terakhir si aku lirik berada dalam kulminasi temaram, kemuramdurjaan yang ditutup dengan larik “Namun hidupku telah lama dalam kelam”.
Sebelumnya, kita juga bisa menjadikan puisi Dalam genang air mata (hal. 8) sebagai tahapan puncak ksedihan si aku.
Sejauh amatan sekilas, Hidar tak melulu bicara soal cinta, kerinduan, harapan, dan kecemasan. Ia juga menyertakan puisi satir (Kini Aku Hanya Abu 4, Derita Pujangga, Lambat Retak 11).
Puisi Terlalu Bahagia (hal. 58) menangkap potret kehidupan khas kota dengan segala bentuk permasalahannya. Adapun sajak cerita semacam folklor yang coba ditampilkan Hidar dalam Dongeng yang Tak Mau Berakhir (60).
Setelah membaca puisi Hidar, saya ingat apa yang pernah diucapkan Asrul Sani dalam esainya mengenai puisi gigantis. Tentang puisi emosi menurutnya adalah puisi yang hanya bermodalkan dengan keharuan yang teramat besar. Emosi penyair sangat penting. Umpamanya “berlarat-larat”.
Kalau kita ingin melihat potret penyair, bacalah puisinya. Maka kita akan temui sosok pribadi penyair. Tentu ini sesuatu yang bisa diperdebatkan. Puisi Hidar membawa saya menjumpai kesemenjanaan, renjana, dan hal yang kita temukan dalam percintaan dua sepasang remaja.
Judul: Kisah yang Tak Sudah
Penulis: Hidar Amaruddin
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri
Jumlah Halaman: 64 halaman
Oleh: Fais
*Tulisan ini pertama kali diterbitkan di medium.com/@faisshole
(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)