Catatan Tentang Kota dan Kesunyian

“Sebab sudah diramalkan bahwa kota penuh cermin (atau khayalan) akan dienyahkan angin dan terhapus dari ingatan manusia tepat ketika Aureliano Babilonia selesai membaca perkamennya dan bahwa apa yang tertulis takkan bisa diulang sejak awal waktu sampai selamanya. Sebab bangsa yang dikutuk 100 tahun kesunyian tak akan memperoleh kesempatan kedua di bumi.”

Potongan paragraf di atas merupakan bagian terakhir novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez. Paragraf penutup tersebut seolah memberi pertanda kembalinya kota Macondo dalam kesunyian setelah melewati berbagai macam gegap gempitanya.

Macondo adalah kota imajiner di mana kisah-kisah dalam One Hundred Years of Solitude berlangsung. Awal mulanya, Macondo hanyalah desa berisi 20 rumah berdinding tanah. Kota itu terletak di pedalaman hutan hujan Kolombia, di tepi sungai yang jernih dan terpisah dari peradaban.

Tentang kota–tempat di mana kita melakukan rutinitas; bekerja, beranak pinak, lalu mati–apa arti hal tersebut bagi seseorang?

Apa yang pertama kali muncul dalam benak ketika kita menyebutkan, misalnya, Yogyakarta?

Apakah lalu lintas para pelancong yang memberikan kesibukan pada kota tersebut? Keriuhan para pedagang di sepanjang jalan Malioboro? Atau kesan mendalam yang pernah ditinggalkan seseorang kepada kita?

Joko Pinurbo pernah mengatakan bahwa Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Sementara seorang perantau mengatakan ada dua hal yang bisa kita lakukan ketika datang kembali ke kota ini: menyembuhkan luka atau justru merawatnya.

Senyatanya kota bukanlah sekadar tempat kita melakukan rutinitas sehari-hari saja. Lebih daripada itu, kota dan orang-orang yang berdiam di dalamnya saling mengisi satu sama lain.

Di sanalah kita mewarisi norma-norma tertentu; apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Juga kebiasaan-kebiasaan apa saja yang diwariskan secara turun temurun. Kota menjadi penting karena ia adalah tempat di mana seseorang tumbuh dan membentuk jati diri.

Dalam One Hundred Years of Solitude, Macondo adalah kota semacam itu.

Novel ini sendiri bagi saya adalah novel yang menguras tenaga pembacanya baik secara fisik maupun mental. Semangat saya goyah ketika berhadapan dengan buku setebal 483 halaman ini.

Selain karena takut tidak sanggup menyelesaikannya, saya khawatir kekecewaan akan muncul andai saja novel yang dinobatkan sebagai satu dari “100 karya sastra yang membentuk dunia” ini tidak sebaik yang dituliskan oleh para pengulasnya.

Tetapi kekhawatiran itu memudar ketika saya disambut oleh bahasa yang megah sepanjang buku. Gabriel García Márquez telah membuktikan bahwa dirinya layak untuk diganjar hadiah Nobel Sastra pada tahun 1982.

Macondo yang sunyi adalah tempat di mana José Arcadio Buendia dan istrinya yang perhatian namun keras kepala, Úrsula Iguaran, memulai hidup mereka.

Kala itu dunia masih sangat baru bagi José Arcadio Buendia, sehingga banyak benda yang tak diketahui namanya dan ia harus menunjuk untuk menyatakan maksudnya.

Sampai kemudian pada bulan Maret tiap tahunnya, orang-orang Gipsi berdatangan membawa berbagai macam penemuan baru. Macondo yang sunyi perlahan-lahan mengalami perubahan.

Kita bisa melihat bagaimana ketakjuban warganya saat melihat Melquíades si Gipsi memamerkan barang ajaibnya yang mampu menarik segala sesuatu yang terbuat dari besi.

Begitu pula saat José Arcadio Buendia pertama kali melihat es dan menganggapnya sebagai penemuan terbesar pada zamannya.

Lambat laun, Macondo berkembang menjadi kota yang ramai. Banyak hal baru mengubah wajah kota tersebut termasuk datangnya perusahaan buah yang menimbulkan kekacauan di sana.

Huru-hara terjadi. Mengakibatkan pembantaian sekitar 3000 pekerjanya. Dan seperti biasa, pemerintah berusaha menghapuskan ingatan kolektif masyarakat atas kejadian tersebut.

Konon, Gabriel García Márquez menulis kisah ini berdasarkan kejadian nyata di Kolombia pada tahun 1928 yang dikenal dengan sebutan “Banana Massacre”.

Sementara itu, keluarga Buendía menerima takdirnya bahwa waktu tidak bergerak secara linear. Bagi mereka, waktu berjalan melingkar dan mengulang dirinya sampai tujuh generasi.

Masing-masing anggotanya mati hanya untuk lahir kembali pada generasi berikutnya, lengkap dengan keberuntungan dan kesialan yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi sebelumnya. Mereka seakan tidak bisa terlepaskan dari takdir tersebut.

Saya sempat kebingungan ketika memilah nama-nama anggota keluarga Buendía yang ada dalam novel. Bayangkan saja, dari generasi pertama hingga generasi terakhir, terdapat 20 orang bernama Aureliano.

Itu belum termasuk nama belakang anggota keluarga yang memiliki kesamaan satu sama lain. Mustahil bisa memahami alurnya tanpa membaca silsilah keluarga tersebut terlebih dahulu (untungnya daftar nama keluarga tersebut telah dicantumkan oleh penerjemah pada bagian awal buku).

Dalam One Hundred Years of Solitude, banyak tokoh digambarkan sebagai orang-orang yang mengalami kesendirian di hari tuanya dan bahkan setelah kematian menjemput mereka. Seperti Melquíades si Gipsi dan Kolonel Aureliano Buendía.

Melquíades, dikisahkan meninggal akibat terkena demam di Singapura dan jenazahnya ditenggelamkan di Laut Jawa. Namun, karena tak sanggup menahan kesendirian akhirnya ia memutuskan untuk bangkit kembali.

Demikian halnya dengan Kolonel Aureliano Buendía yang di hari tuanya berhasil berdamai dengan kesunyian. Baginya, rahasia usia tua yang baik adalah sepakat untuk saling menghormati dengan kesendirian.

“Gabo” atau “Gabito”, begitu sapaan akrab penulisnya, adalah seorang jurnalis, novelis, aktivis politik serta tokoh utama realisme magis–sebuah genre dalam sastra yang memadukan unsur magis dalam suasana realistik.

Jadi, anda tidak perlu kaget jika di dalam novel menemukan kisah-kisah magis seperti orang mati yang kemudian hidup kembali, wanita muda yang terbang ke langit, hingga kupu-kupu berwarna kuning yang mengikuti seorang montir kemana pun ia pergi.

Macondo di ujung cerita adalah tempat yang sunyi. Kota yang dulunya pernah sibuk dengan pesta perayaan, kota yang menjadi saksi sejarah tumbuhnya keluarga Buendía, kota yang melihat perang sipil yang berlarut-larut antara pihak konservatif dan liberal, diluluhkan oleh bencana alam.

Sama seperti penghuninya, kota tersebut akhirnya kembali pada kesunyian tepat seratus tahun setelah ditemukan oleh keluarga Buendía.

Judul: One Hundred Years of Solitude
Penulis: Gabriel Garcia Márquez
Penerjemah: Djokolelono
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 483 halaman

Oleh: Inan

(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)

Postingan Berikutnya Postingan Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url