Norwegian Wood Membantu Saya Memahami Masalah Depresi dan Bunuh Diri

Norwegian Wood adalah novel Jepang kedua yang saya baca setelah Musashi karya Eiji Yoshikawa. Judul novel ini, katanya, terinspirasi dari salah satu lagu The Beatles.

Saat membaca sinopsisnya, kesan pertama yang muncul dalam benak adalah: “Novel karya Haruki Murakami setebal 426 halaman ini sepertinya bercerita tentang kisah asmara remaja yang penuh drama mengingat bahwa Toru Watanabe, tokoh utama dalam buku, dikisahkan menjalin hubungan dengan dua perempuan.”

Namun, setelah membaca dan melewati beberapa halaman, kesan yang demikian perlahan-lahan memudar. Norwegian Wood tidak tampak sesederhana itu karena ia sebenarnya bertutur tentang keadaan seseorang yang mengalami gangguan mental.

Cerita dalam Norwegian Wood dimulai dengan adegan di mana Watanabe mencoba mengingat-ingat kembali pengalaman masa lalunya: kehidupan di asrama laki-laki yang membosankan, kerja paruh waktu untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup, mencuci hingga menjemur pakaian di hari minggu, dan tentu saja perempuan.

Watanabe pada saat itu masih duduk di bangku kuliah dan ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan bernama Naoko. Watanabe sudah mengenalnya sejak lama sebab Naoko adalah mantan kekasih temannya semasa SMA.

Lalu, mengapa Naoko tidak lagi bersama mantannya yang bernama Kizuki itu? Sebab Kizuki meninggal karena bunuh diri.

Pada hari ketika Kizuki bunuh diri, Watanabe dan temannya bolos sekolah dan bermain billiar. Tapi tak lama kemudian jenazah Kizuki ditemukan sudah tidak bernyawa. Berada di dalam mobil yang terparkir di garasi rumah dengan jendela tertutup, penuh asap.

Watanabe tidak menduga bahwa ia adalah orang terakhir yang ditemui oleh Kizuki. Tidak jelas juga apa yang melandasi tindakan Kizuki tersebut.

Di mana pun, persoalan bunuh diri dan depresi selalu samar dan tidak mudah untuk dipahami. Baik dari sisi motif maupun indikasi-indikasinya. Oleh karena itu, orang-orang normal seringkali menyepelekannya.

Saya pernah melihat sekumpulan foto para penderita depresi sesaat sebelum mereka memutuskan untuk bunuh diri (termasuk Chester Bennington, vokalis Linkin Park).

Hasilnya, hampir keseluruhan foto menunjukkan bahwa tidak ada kejanggalan sedikit pun pada gestur wajah mereka. Dalam arti yang lain, raut muka dan perilaku mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang normal.

Seorang teman yang kebetulan juga mengalami hal serupa pernah bercerita. Katanya, persoalan depresi tidak dapat ditebak. Kondisi emosional seseorang sangatlah fluktuatif, sikap mereka dapat berubah begitu saja dalam waktu sekejap.

Sebagian orang mengatakan bahwa depresi merupakan akibat dari suatu hal. Namun, menurut pengalaman teman saya itu, justru depresi lah yang menjadi penyebab/pemicu persoalan lain.

Tapi, masalah utama dalam buku ini bukanlah kematian Kizuki melainkan pada Naoko. Sebab beberapa tahun setelah meninggalnya, ketika Naoko menjalin hubungan dengan Watanabe, ia juga didiagnosis memiliki kondisi mental serupa.

Naoko pun harus mengikuti kegiatan pemulihan di tempat khusus. Ia terpaksa menghentikan perkuliahannya dan mereka berdua menjalani hubungan jarak jauh. Beberapa kali Watanabe menjenguk kekasihnya dan berkirim surat kepadanya.

Pada masa-masa penyembuhan itu secara tidak sengaja Watanabe justru bertemu dengan Midori. Teman kuliahnya di kelas sastra. Mereka berdua lantas menjalin hubungan pertemanan yang akrab. Naoko pun mengetahui dan itu bukan masalah baginya.

Satu hal yang saya suka dari Haruki Murakami dalam novel ini adalah: ia tidak malas menjelaskan perjalanan panjang seseorang hingga akhirnya memiliki keyakinan pada pasangannya. Tidak seperti kisah-cinta-karena-pandangan-pertama antara Lintang dan Alam dalam Pulang-nya Leila S. Chudori itu.

Dengan penuh perhatian, porsi yang berimbang, Haruki Murakami mencoba menjelaskan alur cerita antara Watanabe dan Midori beserta konflik yang menyertainya. Juga, kebimbangan apa saja yang dialami Watanabe.

Harus diakui Haruki Murakami berhasil membangun jalan cerita yang utuh sehingga layak untuk dinikmati. Diaolog-dialog panjang dan romantis dalam novel pun tak kalah menarik. Seperti saat Watanabe mengungkapkan perasaannya untuk menenangkan Midori:

“Kalau kamu berjalan-jalan sendirian di padang luas di musim semi, tiba-tiba dari arah sana datang seekor anak beruang yang lucu, bermata besar dan berbulu seperti beludru. Lalu ia berkata seperti ini kepadamu ‘Selamat siang Nona. Bagaimana kalau kita bermain dengan berguling-guling bersama?’ katanya. Kemudian kamu dan anak beruang itu berdekapan lalu sehari penuh bermain-main dengan berguling-guling di landaian bukit yang rimbun dengan pohon cengkeh. Indah bukan?”

“Indah sekali.”

“Sebesar itulah rasa sukaku kepadamu.”

Dibandingkan karakter Naoko yang dingin, anggun, dan lembut, saya lebih tertarik dengan karakter Midori yang cenderung hangat. Ibarat musim, Naoko adalah musim dingin beserta saljunya yang berguguran. Indah namun menghanyutkan. Sedangkan Midori adalah musim seminya, tempat di mana semua kehidupan menggantungkan segala harap.

Selain kesendirian–atau lebih tepatnya keterasingan, mayoritas tokoh dalam Norwegian Wood adalah orang-orang yang sedang atau pernah mengalami depresi. Mereka memiliki pengalaman buruk di masa lalunya. Ada yang sembuh, namun ada pula yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Haruki Murakami menggambarkan kondisi mental semacam itu dengan jelas. Bagaimana kerepotan mereka menghadapi dunia; keengganan mereka untuk bertemu dan berkumpul dengan orang lain.

Gangguan mental yang berujung pada depresi dan bunuh diri adalah soal rumit. Banyak keadaan di mana semua itu terjadi secara spontan. Selain faktor lingkungan, ada indikasi bahwa bunuh diri juga disebabkan karena faktor keturunan meskipun pendapat ini tidak diyakini oleh banyak orang.

Dalam Norwegian Wood, Haruki Murakami seolah mengajak kita untuk memahami salah satu masalah besar umat manusia di zaman modern. Seperti kata Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Humankind, kematian manusia saat ini lebih banyak disebabkan oleh depresi dan bunuh diri daripada kelaparan dan peperangan.

Mengutip dari WHO, laman berita BBC mengabarkan bahwa tiap 40 detiknya satu orang bunuh diri. Setiap tahun, ada sekitar 800.000 orang yang meninggal karena bunuh diri. Angka itu hanya kalah dengan angka orang yang meninggal sebab kecelakaan lalu-lintas. Sayangnya, masalah ini tidak banyak dibicarakan.

Masih dari sumber yang sama, sebuah penelitian di Amerika Serikat yang berjudul How Many People Are Exposed to Suicide? Not Six dan dimuat dalam jurnal Suicide and Life-Threatening Behavior turut menyatakan bahwa sebuah tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang bisa berdampak pada 135 orang di sekitarnya.

Dalam Norwegian Wood pula Haruki Murakami sebenarnya hendak mengatakan kepada kita tentang masalah ini. Bahwasanya saat seseorang melakukan bunuh diri, mereka yang ditinggalkan pun menanggung beban kesedihan yang tak kalah besarnya. Dan bisa jadi mereka terdorong untuk melakukan hal yang sama.

Watanabe menanggung beban seperti itu kala mengetahui bahwa Naoko telah tiada. Hampir sebulan penuh ia hidup menggelandang, terlunta-lunta karena kehilangan dan ia harus berjuang mati-matian agar bangkit dari kondisi tersebut.

Di ujung cerita. Watanabe menerima kenyataan bahwa kematian bukanlah lawan dari kehidupan melainkan bagian darinya.

“Dibiarkan pun segala sesuatunya akan mengalir ke arah yang semestinya mereka mengalir dan betapa pun kita melakukan yang terbaik seseorang kalau sudah waktunya terluka, akan terluka juga. Itulah hidup.” Demikian tulis kawan Naoko dalam sepucuk surat yang dikirimkan pada Watanabe.

Meski Norwegian Wood bagus sehingga menarik banyak tanggapan positif dari para pembaca, saya tetap tidak akan menyarankan buku ini kepada orang-orang yang memiliki permasalahan serupa. Karena sedikit saja terbersit pikiran negatif, bisa jadi ia terpicu untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

Judul: Norwegian Wood
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Jonjon Johana
Penyunting: Yul Harniyati
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Jumlah halaman : 426 halaman

Oleh: Inan

(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)

Postingan Berikutnya Postingan Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url