Arok Dedes, Sebuah Dokumen Politik Nusantara Abad 13 M

Tiga dekade setelah berakhirnya Revolusi Perancis, magnum opus Isidore Marie Auguste François Xavier Comte yang berjudul Cours de Philosophie Positive terbit secara berkala dari tahun 1830-1842.

Salah satu pokok gagasan di dalam karya tebalnya (6 jilid) itu ialah ide mengenai perkembangan akal budi manusia yang juga dikenal dengan sebutan "The Law of Three Stages".

Secara singkat, tesis tiga tahap itu adalah berikut:

1. Tahap Teologis: di mana manusia menjelaskan fenomena-fenomena alam dengan cara irasional termasuk pengandaian-pengandaian bahwa batu dan pohon merupakan individu yang memiliki kehendak layaknya manusia.

2. Tahap Metafisis: ditandai dengan penyelidikan manusia terhadap penyebab pertama atas terjadinya segala sesuatu yang masih tetap dengan pengandaian-pengandaian a priori tanpa pengamatan ril.

3. Tahap Positif: periode saat manusia mulai menjelaskan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan dirinya melalui cara-cara ilmiah-empiris.

Tepat pada titik ketiga inilah Pram kemudian membaca ulang sejarah masa lalu Nusantara. Berbeda dengan pandangan umum, dalam Arok Dedes kita tidak akan menemukan kisah-kisah mistik yang sudah terlanjur dipercayai dan digemari oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun.

Perihal sejarah, Pram memang terbilang ketat dan cenderung positivistik. Agaknya ia berusaha untuk menyingkirkan diri dari segala unsur-unsur yang tak logis.

Pada komentar soal relasi Nyi Roro kidul dengan para pemimpin Mataram misalkan, Pram menganggapnya sebagai cara Mataram untuk menutupi malu setelah mengalami kekalahan ketika melawan koloni kecil Belanda di Batavia pada tahun 1629.

Kata Pram, demi melenyapkan rasa malu dan untuk mempertahankan kewibawaan kerajaan, para pujangga berceloteh bahwa ayah Sultan Agung memperistri Puteri Laut Selatan, Nyi Roro Kidul agar muncul kesan bahwa Mataram masih punya keterlibatan dengan laut.

Hal semacam ini, anehnya, justru terjadi sewaktu para penduduk Jawa mulai memeluk Islam.

Demikian pula dengan Arok Dedes. Sebagaimana yang tertulis dalam pengantar buku, “di tangan Pram, sejarah awal abad 13 itu, seluruh mistika yang menyertai jatuhnya Tumapel, dicerabuti, disiangi, dibersihkan. Yang irasional (kutukan keris Gandring tujuh turunan) diluruhkan.”

Roman ini sepenuhnya berubah menjadi cerita politik yang bertutur tentang kudeta pertama di Nusantara. Berbekal data dan kemahirannya meracik, Pram kemudian merekonstruksinya menjadi sebuah sudut pandang baru.

Dikisahkannya gesekan-gesekan antar kelas sosial sudra-brahmana-satria yang telah terjadi selama berabad-abad yang kemudian dimanfaatkan secara politis oleh Arok sang pembangun.

Seorang paramiliter cum politisi sipil yang licik serta cerdik untuk melakukan kudeta merangkak menjadi penguasa tunggal–kudeta yang terwujud dengan meminjam tangan banyak orang.

Bagaimana tidak, sebagai seseorang dengan tiga latar belakang kelas (berasal dari golongan sudra namun berguru pada orang-orang brahmana dan bersikap layaknya satria), Arok justru dapat bergerak secara luwes. Ia memahami celah-celah pergesekan yang terjadi di antara ketiga kelompok tersebut.

Arok bukannya tidak menyadari keuntungan posisi ini. Ketika huru-hara terjadi di kota Tumapel misalkan, dengan sigapnya ia memasuki jantung kekuasaan wilayah tersebut dan memposisikan dirinya sebagai sang messiah–seorang juru selamat atas kekacauan yang sebenarnya disebabkan oleh pasukannya sendiri.

Hanya dalam waktu singkat ia telah berhasil menggalang dukungan dari kelompok sudra sekaligus brahmana untuk menggulingkan Tunggul Ametung, sang penguasa Tumapel.

Kudeta yang dilancarkannya semakin mulus ketika keris yang digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung berasal dari Empu Gandring. Jadilah namanya sebagai pemimpin yang bersih tanpa cela sedikit pun di mata banyak orang.

Siasat politik a la Machiavelli ini tentu saja akan mengingatkan kita dengan peristiwa kelam yang pernah terjadi di Indonesia pada kurun 65-66, di mana peralihan kekuasaan dari Orde Lama menuju Orde Baru menelan ratusan ribu korban jiwa.

Sebuah perpindahan yang menurut para pengamat sejarah juga melibatkan tangan banyak orang.

Saya tak tahu persis apakah Bapak Pembangunan kita yang pernah berkuasa selama 32 tahun itu meneladani siasat politik ini atau tidak. Yang jelas, ada kemiripan di sana.

Dalam Arok Dedes, sejarah persekongkolan antara agama dan kekuasaan pun tak luput dari mata Pram. Suatu pembacaan khas yang saya kira tidak dimiliki oleh banyak orang.

Dengan fasihnya ia bercerita tentang Arjunawiwaha karya empu Kanwa: gejala pertama penggunaan kitab suci untuk mendewakan raja diraja yang merasa telah menjadi satu-satunya wakil Tuhan di bumi.

Dalam Arok Dedes kita juga akan menemukan kepiawaian Pram dalam membangun karakter-karakter perempuannya. Pram, menurut saya, selalu berhasil menggambarkan mereka sebagai sosok yang cerdas, tegas, dan tangguh tanpa menghilangkan sisi-sisi kewanitaannya.

Jika di Tetralogi Buru kita menemukan sosok nyai Ontosoroh yang menjadi mentor politik Minke, maka dalam Arok Dedes kita akan menemukan Ken Dedes, seorang permaisuri keturunan brahmana yang diculik dan dinikah paksa oleh Tunggul Ametung.

Sebagai permaisuri, Ken Dedes pada dasarnya juga melakukan aktivitas politik meskipun tidak secara terang-terangan. Ia memiliki caranya sendiri.

Sementara para elit kerajaan bermain politik secara kotor, diam-diam Ken Dedes justru berusaha untuk menarik simpati rakyatnya tanpa harus menggunakan kekerasan.

Karena baginya, lebih mudah untuk mengontrol seseorang dengan cara menumbuhkan rasa cinta dibandingkan dengan menyebarkan rasa takut.

Dan yang terakhir, jika anda adalah seorang penggemar kutipan seperti saya, tentu saja petuah dan nasihat adalah barang terakhir yang paling kita cari dan ingini dari seorang tua macam Pram seperti:

"Punah adalah tugas satria, dengan peninggalan terbaik adalah sebaik-baik punah."

Ya Kek, anda sendiri lah satria itu, yang meninggalkan pusaka untuk membaca sketsa politik negara kita hari ini yang ternyata hanya diulang-ulang saja.

Judul: Arok Dedes
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Hasta Mitra
Jumlah Halaman: xiv + 565 halaman

Oleh: Inan

(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)

Postingan Berikutnya Postingan Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url