Dari Akidah ke Revolusi: Kritik Hassan Hanafi Terhadap Ilmu Kalam Klasik
“Selama akidah terkurung dalam kesucian Tuhan sedangkan syari’at terpaku dalam kepentingan manusia, maka dalam benak kita akan berkembang pemikiran ketuhanan sedangkan pemikiran tentang kepentingan manusia akan lenyap.” - Hassan Hanafi
Di antara persoalan yang diangkat Hassan Hanafi dalam pemikirannya tentang “rekonstruksi ilmu-ilmu klasik Islam untuk transformasi sosial” adalah meninjau kembali kedudukan Ilmu Kalam sebagai dasar atas keilmuan islam.
Menurutnya, Ilmu Kalam (baca: Teologi Islam) hasil pandangan ulama klasik sudah tidak relevan lagi dijadikan pegangan oleh manusia modern. Ada beberapa poin yang ia tekankan mengapa Ilmu Kalam klasik sudah sepatutnya ditinjau ulang.
Beralihnya fungsi Ilmu Kalam dari semula. Awal munculnya Ilmu Kalam salah satunya bertujuan untuk memudahkan pemahaman manusia atas Tuhannya. Konsepsi atas Tuhan dalam Ilmu Kalam setidaknya berhasil membangun keyakinan (akidah) umat saat itu.
Sampai kemudian sejarah mencatat peristiwa politik yang melibatkan Ilmu Kalam. Peristiwa al-Mihnah (penyebutan al-Qur'an itu makhluk atau qadim) di masa khalifah al-Ma’mun yang digunakannya untuk menguji kesetiaan pejabat negara pada khalifah.
Ditarik ke depan, tentu sudah lumrah setiap pemilihan pemimpin di republik ini selalu ada calon yang "jualan agama" sebagai bahan kampanye.
Merunut lebih jauh, ia menemukan poin yang membuat Ilmu Kalam beralih fungsi. Pendudukan Tuhan pada posisi pusat dan manusia pada posisi marjinal. Hal ini terlihat dalam setiap mukadimah ilmu kalam karangan ulama salaf yang selalu diawali dengan pujian pada Tuhan.
Mukadimah seperti ini merupakan refleksi keimanan yang murni, padahal persoalan iman inilah yang dicari penetapannya lewat berbagai argumentasi dalam kitab.
Menurutnya, ungkapan keimanan yang demikian dapat mengabaikan argumentasi, serta menyia-nyiakan keilmuan. Penjelasan antara mukadimah sampai kesimpulan seakan menjadi sesuatu yang tidak berarti.
Perkara ini kemudian merembet dalam perkembangan keilmuan Islam. Pemisahan Ilmu Akidah dengan syari’at. Konsepsi Kalam klasik membuat posisi Tuhan dalam keadaan "suci" yang sudah final. Akibatnya, ijtihad pada ranah akidah menjadi stagnan dan ilmu syari'at berkembang sendiri.
Pemasukan nilai-nilai ketuhanan dalam ranah syari’at menjadi minim, seakan kedua disiplin ilmu tersebut tidak ada hubungannya.
Pemisahan kedudukan Tuhan dengan manusia bukan berarti mengabaikan nilai-nilai ketuhanan yang bisa digunakan untuk memperbaiki keadaan umat.
“Pendudukan posisi Tuhan, pemisahan akidah dan syari’at, sangat tampak jika kita mengamati kaum intoleran yang menyerang membabi buta terhadap wacana baru. Tidak ada satu cabang keilmuan pun yang perbedaannya sebanyak ilmu kalam. Meski menafsirkan dari sumber yang sama, ilmu kalam berhasil menghadirkan berbagai aliran akidah dalam Islam."
Bukan pada keberagaman penafsiran Hassan Hanafi mencoba mengamati. Tetapi lebih kepada sikap masing-masing aliran yang berusaha menafikan kebenaran aliran lain. Menyerang aliran lain bukan sikap yang harus ditunjukkan dalam menghadapi persoalan umat.
Ia menekankan sikap saling menghargai metodologi Kalam aliran-aliran tersebut. Karena pada dasarnya perbedaan metode merupakan suatu usaha dari masing-masing manusia mendekatkan diri pada Tuhan.
Tidak ada yang saling mengungguli, karena masing-masing metode mewakili kebutuhan spiritual anggota alirannya, semua metode berada pada kedudukan yang sama.
Secara pribadi, ia menyatakan posisinya dengan menolak konsep Ilmu Kalam menurut ulama klasik. Ia menawarkan rekonstruksi terhadap ilmu kalam dengan pemikiran mutakhir yang berhubungan dengan kemanusiaan.
Tauhid terkait langsung dengan gerakan, Tuhan ada di bumi, sifat Tuhan pada nilai-nilai kemanusiaan. kehendak Tuhan berada pada kebebasan manusia dan dinamika sejarah.
Judul: Dari Akidah ke Revolusi
Penulis: Hassan Hanafi
Penerbit: Paramadina
Jumlah halaman: xxxviii + 387 halaman
Oleh: Thoriq Ziyad
(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)