Arus Balik: Perjalanan Panjang Nusantara Menuju Kemerosotan


Arus Balik ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer selama masa penahanan di Pulau Buru pada tahun 1969–1979. Edisi Indonesia diterbitkan bersamaan dengan edisi Belanda, Agustus 1995, dalam rangka merayakan 50 tahun kemerdekaan Indonesia.

“Dunia kita sedang berubah, kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya perubahan ini. Maka timbul banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian.”

Serangkaian kalimat itu meluncur keluar dari mulut sang Patih Adipati Tuban yang lama sebelum sebilah keris menembus perutnya.

Hal yang baru datang memang menuntut banyak penilaian. Ada yang meraba-raba, menerka sembari menentukan, juga membayangkan saja tanpa mengambil keputusan.

Bak jabang bayi yang baru lahir dari rahim sebuah zaman, seolah-olah ia sedang berkata kepada para pendahulunya dengan nada mengancam: “Pendirian baru ini akan segera memakan tempatmu!”

Kira-kira suasana seperti itulah yang hendak disampaikan oleh Arus Balik tentang kondisi Nusantara sepeninggal kejayaan Majapahit. Suatu masa di mana wawasan bahari pernah menjadi asas utama kemajuan peradaban maritim. Armada besar disegani di segala penjuru, bandar-bandar yang selalu ramai, dan kapal-kapal dagang yang tak pernah sepi berlalu lalang dari selatan ke utara.

Semua berubah semenjak keruntuhannya. Arus pun berbalik dari utara menuju selatan dengan membawa segala hal baru: pegangan, pandangan, agama, juga perwatakannya.

Runtuhnya kerajaan itu sekaligus menjadi penanda kejatuhan Nusantara. Sedangkan yang di sebelah selatan sana tidak menyadari sebab sedang berasyik-masyuk mencaplok sesamanya.

Kekacauan terjadi baik di Jawa bagian barat, tengah, maupun ujung timur. Perang dan pemberontakan dilakukan oleh penguasa-penguasa kecil sementara kabar ketakutan muncul dari belahan utara; bangsa baru, bangsa atas angin dengan kekuatan besar terus mendesak ke selatan.

Para pelaut bilang bangsa inilah Lelananging Jagad, bangsa kulit putih Peranggi yang dengan kemegahan meriamnya menghendaki ketundukan serta kepatuhan.

Kala itu, hanya armada laut Demak di bawah pimpinan Adipati Unus yang gagah berani melakukan perlawanan terhadap Peranggi.

Sementara salah satu koalisi yang diharapkannya, Arya Teja Tumenggung Wilwatikta sang Adipati Tuban–yang tak memiliki kepercayaan terhadap Demak–justru dengan mudah berkhianat. Ia lebih memilih untuk menawar hal baru tersebut demi keuntungan semata.

Memang sedari awal ia tidak menghendaki pengusiran atas Peranggi; hanya perdagangan yang menjadi perhatiannya. Sengaja gugusan armada laut Tuban dibuatnya terlambat beberapa hari–sebuah keputusan yang akan menyesalkannya di kemudian hari.

Akibat hal itu Adipati Unus menelan kekalahan di Malaka dan pulang dengan membawa gelar baru: “Pangeran Sabrang Lor”.

Harapan untuk kembali menyatukan Nusantara seperti yang pernah dilakukan Gajah Mada ratusan abad sebelumnya harus semakin jauh dari kenyataan. Tenggelam dalam intrik politik para pembesar.

Musuh sesungguhnya kian menggelembung sementara lubang kekeroposan akibat pengkhianatan bertambah besar.

Di tengah kegoyahan zaman tersebut, seorang pemuda desa bernama Wiranggaleng tampil menjadi bagian dari epos besar ini. Pramoedya menyebutnya seorang pewaris semangat Maha Patih Majapahit sekaligus menempatkannya sebagai tokoh protagonis sampai ujung cerita.

Ia adalah seorang anak desa sederhana yang diangkat menjadi patih Adipati Tuban sekaligus pemimpin gugusan armada laut Tuban.

Dengan pandangan besarnya ia berusaha memanggil-manggil kejayaan di masa depan sebagaimana kanjeng Adipati Unus bercita-cita mengusir Peranggi dari wilayah Nusantara.

Namun, si anak desa ini ternyata memiliki jalan yang berbeda dari Maha Patih Gajah Mada. Sebab kemenangan adalah satu hal sedangkan pengkhianatan adalah hal yang lain lagi.

Wiranggaleng si anak desa itu setidaknya telah mencoba menerobos masuk sampai ke pusat kekuatan Peranggi di Malaka meskipun gagal.

Pada akhirnya ketika arus membalik orang akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan: bertahan dengan pandangan lama, menyambut arus baru, atau memanfaatkan arus baru sembari menghendaki ketetapan lama demi kepentingan pribadi.

Sekali lagi, Pramoedya dengan keluasan bahasanya berhasil menjelaskan kemelut internal perpolitikan raja-raja Nusantara dan mengurainya dengan cermat, tekun, dan berhati-hati meskipun terkadang sinis.

Juga slentingan-slentingannya–seperti dalam novel-novelnya yang lain–tetap akan menyebabkan telinga para pemuja kebudayaan feodal, keningratan, serta pengagum legitimasi agama untuk kepentingan diri sendiri menjadi panas. Pesannya:

“Pahami pergantian zaman biar kalian tidak didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. Dengarkan kebijaksanaan.”

Judul: Arus Balik
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Hasta Mitra
Jumlah halaman: ix + 760 halaman

Oleh: Inan

*Tulisan ini pertama kali diunggah di medium.com/@inananan

(Dukung kami untuk terus menyajikan tulisan berkualitas dengan berdonasi di sini.)

Postingan Berikutnya
2 Comments
  • Unknown
    Unknown 13 September 2019 pukul 07.52

    Masuk gusku.....semoga semakin memberikan manfaat...amiin

    • Tuna Pustaka
      Tuna Pustaka 13 September 2019 pukul 07.59

      UUwwamiiiiiin doane maaas

Tambahkan Komentar
comment url